Blogroll

Kamis, 18 Oktober 2012


MASYARAKAT PEDESAAN DAN MASYARAKAT INFORMASI
MASYARAKAT PEDESAAN DAN MASYARAKAT INFORMASI
Hasyim Ali Imran
Abstracts
This paper presents the results of analysis about rural community in relation to make them as a part of information society in Indonesia. The discussion is focused in understanding concept of Information Society; commitment of the world society towards the realization of Information Society; commitment of realizing the Information Society in Indonesian rural areas; ICT enabling problem, ICT literacy in realization the Information Society; and digital divide problem in rural areas. Results show that commitment of the world society towards the realization of Information Society was poured in two meetings of WSIS. Commitment of Realizing the Information Society in rural community in Indonesia refers to the agreement in WSIS meeting in Tunis 2005, that is based on the agenda that was placed in order 23.b. Totally 178 countries in the WSIS meetings in Geneva and Tunis agreed that ICT enabling factor become main enabler that must be realized for connecting the whole world society. Another supporting enabler is ICT Literacy factor; and to South countries as Indonesia agreed that the digital divide problem become intruder to realization efforts of the information society so it should be overcome. Digital divide problem in Indonesian rural areas, beside related to availability factor of infrastructures (enabling), also connected with "capacity of the community's economics that was not restored yet, insignificance of the quality of human resources that were linked with the education level, work variances, economic standard of living and the other social variables that were tightly connected to their preference of one of the technological products like internet.
Kata-kata kunci: Masyarakat Pedesaan; Masyarakat Informasi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang dan permasalahan

Menurut McLuhan , perubahan budaya dalam kehidupan manusia itu ditentukan oleh teknologi. Guna maksud pemahaman lebih dalam tentang asumsi ini, McLuhan melakukan studi interpretative terhadap perjalanan sejarah manusia dalam perspektif media. Untuk keperluan ini, maka dia membagi semua sejarah manusia ke dalam empat periode, yakni : tribal age, literacy age, print age, dan electronic age.

Tribal Age, yaitu masa di mana masyarakat masih dalam kelompok-kelompok kesukuan. Dalam masa ini, maka dusun-dusun kesukuan merupakan tempat akustik di mana indera mendengar, merasa, dan mencium jauh melebihi kemampuan melihat. Belahan otak kanan mendominasi belahan kiri, mendengar adalah raja karenanya. Mereka bertindak dan bereaksi emosional pada saat bersamaan. Jadi, dalam berkomunikasi masyarakat lebih mengandalkan telinga. Literacy Age, pada masa ini maka sudah terjadi perubahan, yakni dari pengandalan indera telinga ke pengandalan mata. Abjad fonetik menggantikan penglihatan dan pendengaran untuk memimpin hieranchi indera. Orang yang dapat membaca mengganti telinga dengan mata. Logika menjadi model pada kemajuan linier selangkah demi selangkah. Menurut Luhan penemuan abjad ini mendorong kemunculan tiba-tiba matematika, iptek dan filsafat di Yunani kuno. Sementara, Print Age, yaitu zaman penemuan media cetak. Kalau abjad fonetik memungkinkan ketergantungan visual, maka percetakan membuatnya dapat tersebar luas. Karena revolusi percetakan menunjukkan produksi massal produk yang sama, maka McLuhan menyebutkannya sebagai perintis revolusi industri. Sedang Electronic Age, yaitu zaman elektronik yang ditandai dengan penemuan radio dan televisi. Kekuasaan “kata” yang tercetak pada masa ini menurut McLuhan telah berakhir dan digantikan oleh telegraf. Padahal penemuan Samuel Morse ini hanyalah bagian pertama dari alat komunikasi elektonik selanjutnya, hingga internet.

Meskipun McLuhan tidak memasukkan Cyber media sebagai salah satu age-nya, namun sebelum meninggal pada 1980 ia sempat meramalkan bahwa dampak budaya dari perangkat keras komunikasi tidak penting jika dibandingkan dengan gejolak yang disebabkan oleh perangkat lunak komputer yang akan datang. Digambarkannya, kita semua sebagai anggota dusun global tunggal. Media elektronik membuat kita semua dapat bersentuhan dengan siapa saja dan di mana saja dengan sekejab.

Apa yang diramalkan McLuhan tersebut menyangkut komputer, kiranya menunjukkan banyak fakta yang relevan dalam masyarakat saat ini, misalnya melalui kehadiran internet sebagai wujud dari hasil kombinasi kemampuan teknologi informasi dan komunikasi. Karena internet, kita dengan mudah bisa mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber dan berbagai lokasi di belahan bumi yang kita butuhkan saat ini dengaan waktu yang relative cepat. Karena itu, maka dari segi sosial budaya, misalnya masyarakat saat ini menjadi tidak perlu harus beli buku yang ia perlukan, cukup dengan mengakses internet. Bahkan ia bisa berkomunikasi langsung dengan para penulis buku yang diperlukannya, misalnya dengan EM Griffin, kita bisa melakukannya dengan menggunakan internet.

Jadi, determinisme teknologi Marshal McLuhan itu pada hakikatnya menjelaskan bahwa teknologi itu mempengaruhi budaya komunikasi sebagai salah satu bentuk perubahan sosial. Sebuah perubahan sosial yang sangat fenomenal dan karenanya menyebabkan masyarakat dunia jadi terdorong untuk mengembangkan bentuk masyarakat baru yang kemudian dikenal dengan konsep Masyarakat Informasi (Information Society).

Sebagai sebuah perubahan sosial yang fenomenal, tulisan ini akan mencoba menelaahnya secara lebih jauh. Telaahannya akan difokuskan pada upaya mengetahui secara detil menyangkut konsep Masyarakat Informasi itu sendiri. Selain itu, juga akan ditelusuri mengenai bagaimana komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan Masyarakat Informasi. Persoalan lain yang menjadi fokus dalam makalah ini adalah menyangkut komitmen perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia; masalah ICT enabling, ICT Literacy dalam kaitannya dengan perwujudan masyarakat informasi; dan persoalan yang terkait dengan problema digital devide di lingkungan Pedesaan dalam hubungannya dengan perwujudan masyarakat informasi

PEMBAHASAN
Masyarakat Informasi
Konsep ini secara umum menjelaskan bagaimana masyarakat dalam hubungannya dengan aktifitas informasi dan komunikasi yang difasilitasi oleh kemampuan produk Information and Communication Technologies (ICT) modern berupa internet . Dalam masyarakat yang demikian sendiri digambarkan, bahwa individu masyarakat yang melalui fasilitasi kemampuan internet dapat menciptakan, mendisdribusikan, menggunakan dan memanfaatkan informasi untuk kepentingan dalam bidang ekonomi, politik dan aktifitas kebudayaan.
Ciri masyarakat informasi yang notabene sangat berbeda dengan ciri masyarakat dalam fase-fase sebelumnya, banyak mendapat perhatian akademisi. Para akademisi berbeda pandang dalam hal ciri tersebut, diantaranya ada yang mengacu pada ukuran perolehan GNP dan tenaga kerja yang aktif di sektor information economy (Deutsch -1983). Jean-François Lyotard (1984: 5) menurut ukuran di mana pengetahuan dapat ditransformasikan menjadi sebuah komoditas. Peter Otto dan Philipp Sonntag (1985), cirinya menurut ukuran mayoritas tenaga kerja yang bekerja di perkerjaan-pekerjaan informasi. Ada pula yang mencirikannya berdasarkan indikator di mana a majority of jobs involves working with knowledge (Nico Stehr (1994, 2002a, b).

Sejalan dengan ragam ciri itu, konsep information society pun mendapat pendefinisian yang variatif menurut konseptualisasi yang juga jadi beragam. Diantaranya ada yang mengkonseptualisirnya menjadi network societies, the post-industrial society, post-modern society, knowledge society, Telematic Society, Information Revolution, informational capitalism, transnational network capitalism, knowledge industry, network society, dan the 'The Wired Society' .

Barney (2004: 25sq), melalui konsep network societies mengartikan masyarakat informasi dengan, reproduksi dan institusionalisasi melalui (dan antara) jaringan masyarakat sebagai bentuk dasar dari organisasi dan hubungan manusia melintasi batasan yang luas dari konfigurasi dan asosiasi sosial, politik dan ekonomi Dengan konseptualisasi serupa dengan Barney, Jan Van Dijk (2006) mendifinisikan masyarakat jejaring sebagai sebuah “formasi sosial dengan infrastruktur jaringan sosial dan media yang memfasilitasi mode utama dari organisasinya pada semua level Sementara Webster relatif berbeda dengan akademisi lainnya, information society didefinisikannya menurut lima konsep, yakni : information society menurut konsep technological, economic, occupational, spatial, dan cultural . Sedang James Martin (1978) yang mengkonseptualisir fenomena masyarakat informasi dengan konsep 'The Wired Society', mengartikannya sebagai suatu masyarakat yang terkoneksiasi dengan massa dan jaringan telekomunikasi.

Keragaman definisi itu menurut Mäkinen bukan menjadi sesuatu yang ideal, karena menurutnya konsep masyarakat informasi itu diperlukan untuk mendefinisikan konstruksi sosial bagi segala situasi di mana informasi itu ada. Dengan demikian ini dapat diartikan bahwa pengertian masyarakat informasi idealnya harus dapat mengadopsi segala situasi dan kepentingan di mana informasi itu eksis. Terkait dengan makna pernyataan Mäkinen tersebut, World Summit on the Information Society (WSIS) mendefinisikan masyarakat informasi sebagai suatu keadaan di mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi serta pengetahuan yang memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat untuk mencapai potensi mereka dalam rangka mengembangkan pembangunan yang terus terpelihara dan mengembangkan kualitas hidup mereka, sebagaimana yang telah dideklarasikan di dalam tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam PBB, dan, menghormati secara penuh serta menguatkan deklarasi Universal Hak Asasi manusia.

Definisi Masyarakat Informasi menurut WSIS tampaknya cukup akomodatif bagi semua pihak. Paling tidak, sifat akomodatif tersebut ditandai oleh kata-kata “dapat”, “mencapai potensi” dan “mengembangkan” dalam kaitan informasi dan pengetahuan pada Masyarakat Informasi. Meskipun definisi ini tidak mematok tegas target capaian ideal masyarakat informasi, sebagaimana digambarkan dalam banyak definisi lain, misalnya seperti masyarakat yang bekerja di bidang informasi atau pengetahuan, melainkan disesuaikan menurut potensi setiap pihak, akan tetapi melalui kata “dapat” definisi tersebut tetap saja menyiratkan bahwa ICT menjadi pre kondisi yang harus dipenuhi oleh setiap pihak yang mau membuat masyarakatnya menjadi bagian dari masyarakat informasi.

Dalam kaitan pemenuhan pre kondisi tadi, yakni ICT sebagai enabler yang menjadikan terkoneksinya masyarakat , karena biaya pemenuhannya yang sangat besar, banyak pihak yang menilai bahwa persoalan tersebut menjadi tanggung jawab setiap negara . Dengan kesadaran setiap pemerintahan negara, akhirnya persoalan ICT dalam kaitan penciptaan masyarakat informasi, disepakati untuk diatasi. Kesepakatan ini berwujud dalam bentuk penyelenggaraan dua pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh WSIS sebagai perpanjangan tangan dari UNESCO. Pertemuan pertama tahun 2003 berlangsung di Jenewa Swis dan kedua tahun 2005 di Tunis.

Komitmen Dunia terhadap Perwujudan Masyarakat Informasi
Dalam WSIS 2003, para pemimpin dunia yang hadir saat itu mendeklarasikan tekad bersamanya untuk mengurangi kesenjangan digital ini. Tekad ini kemudian dituangkan ke dalam “deklarasi prinsip-prinsip pembangunan masyarakat informasi : tantangan dunia dalam millennium baru” yang diantaranya berbunyi :”Kami, wakil dari masyarakat dunia, berkumpul di Jenewa dari tanggal 10-12 Desember 2003 dalam forum pertama dari World Summit on the Information Society (WSIS) mendeklarasikan kesamaan keinginan dan komitmen kami untuk membangun masyarakat terpusat, sampai dengan dan berorientasi membangun Masyarakat Informasi, di mana semua orang dapat menciptakan, mengakses, menggunakan, dan membagikan informasi dan pengetahuan, memfasilitasi baik individu, komunitas, dan masyarakat untuk mencapai potensi maksimalnya dalam mendukung pembangunan berkesinambungan dan meningkatkan kualitas kehidupannya, berpegang pada tujuan dan prinsip dari Piagam PBB dan menghargai sepenuhnya dan menjunjung Deklarasi Hak Asasi Manusia”.

Tekad itu kemudian ditinlanjuti dan disikapi lebih mendalam pada pertemuan kedua WSIS di Tunis 2005. Sikap dimaksud tertuang dalam dokumen komitmen Tunis. Terdapat 40 komitment dalam dokument tersebut, salah satunya berkaitan dengan tekad untuk mengimplementasikan apa yang telah dideklarasikan dalam pertemuan WSIS di Jenewa Swis 2003, komitmennya yaitu : “Kami, wakil dari masyarakat di dunia, telah berkumpul di Tunis dari tanggal 16-18 November 2005 pada forum kedua dari World Summit on the Information Society (WSIS) untuk menyatakan kembali secara tegas mendukung Deklarasi Jenewa tentang Prinsip dan Rencana Kerja yang diambil dari forum pertama World Summit on the Information Society (WSIS) di Geneva pada bulan Desember 2003” .

Berdasarkan komitmen tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam langkah-langkah nyata dalam upaya mewujudkan masyarakat informasi dunia dengan cara menekankan pentingnya soal financial dalam upaya mempersempit gab digital devide. Langkah-langkah dimaksud tertuang dalam “TUNIS AGENDA FOR THE INFORMATION SOCIETY”. Dari 122 agenda, ada dua agenda yang menandakan besarnya loncatan sikap internasional untuk segera mewujudkan masyarakat informasi dunia. Sikap dimaksud ditandai oleh sikap bersama anggota melalui deklarasi mereka, ”..…. Ini saatnya untuk bergerak dari prinsip kepada tindakan, mempertimbangkan kegiatan yang telah mulai dilakukan dalam mengimplementasikan Rencana Kerja Jenewa dan mengidentifikasi kemajuan-kemajuan terkait hal tersebut baik yang telah dilakukan, sedang dilakukan, atau yang belum dilakukan,” sebagaimana tertuang dalam agenda pertama. Indikator lain tertuang dalam agenda kedua, yakni : ”Kami menegaskan kembali komitmen yang telah dibuat di Jenewa dan disusun di Tunis dengan memfokuskan pada mekanisme financial untuk menjembatani kesenjangan digital, pada pemerintahan berbasis Internet dan yang berkaitan dengan hal tersebut, sebagai bentuk pengimplementasian dan tindak lanjut atas keputusan di Jenewa dan Tunis; agenda ke-12, “Kami menyetujui bahwa pembiayaan terkait ICT untuk kebutuhan pembangunan perlu ditetapkan dalam konteks semakin pentingnya peran ICT, bukan hanya sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai pendukung pembangunan, dan sebagai alat untuk pencapaian cita-cita dan tujuan pembangunan yang diakui di dunia internasional, termasuk Cita-cita Pembangunan Milenium”.

Wilayah-wilayah seperti pedesaan, pulau-pulau terpencil dan sejenisnya, dinilai menjadi wilayah yang paling tinggi tingkat kesenjangan digitalnya. Meskipun demikian, problematika yang ada seperti di wilayah pedesaan, cenderung berbeda karakteristiknya antara yang dialami oleh pedesaan di negara-negara Utara dan di negara-negara Selatan. Karenanya, dalam kaitan “information society”, persepsi dan penanganan terhadap persoalan pedesaan menjadi relatif berbeda pula. Tidak seperti pada kebanyakan negara-negara Selatan yang sarat dengan persoalan ICT enabling, maka pada negara-negara Utara seperti negara Eropa, misalnya, yang menjadi problema dalam pembangunan pedesaan di sana bukan lagi menyangkut soal ICT enabler, melainkan justru masyarakat informasi itu sendiri yang dinilai menjadi enabler .

Komitmen Perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia
Dalam peretemuan WSIS di Tunis 2005, terkait problema pedesaan tadi, juga termasuk menjadi bagian persoalan yang diakomodir dalam peng-agenda-an oleh para anggota delegasi. Agenda yang diletakkan dalam urutan ke 23.b. itu berbunyi ,“Akses komunikasi dan konektivitas terhadap layanan dan aplikasi berbasis ICT pada wilayah pedesaan, pulau-pulau kecil negara berkembang, daerah-daerah terpencil di negara-negara berkembang dan lokasi lain yang mewakili tantangan teknologi dan pasar yang unik” Dengan peng-agenda-an tersebut, berarti persoalan pedesaan menjadi krusial dalam upaya menjadikan masyarakatnya sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Karena, sebagaimana diketahui, peng-agenda-an pada tahun 2005 ini, sebenarnya merupakan penegasan sikap atau tekad untuk pembangunan desa yang sebelumnya telah dinyatakan dalam Plan of Action pada pertemuan WSIS 2003 di Geneva.

Sebagai negara peserta WSIS, Indonesia telah berupaya mengadopsi substansi deklarasi dan plan of action yang muncul dalam dua pertemuan WSIS tadi. Bukti untuk ini sendiri, antara lain itu tertuang dalam Government of Indonesia’s Action Plan to overcome the Digital Divide. Action Plan ini mencakup banyak hal yang terbagi ke dalam empat bidang masalah, terdiri dari : Policy and Legal Framework; Human Capacity Building; Infrastructure; dan Applications .

Terkait khusus tentang bidang aplikasi, maka dalam rencana aksi tersebut diketahui bahwa pemerintah akan membantu peran sentral sektor swasta dalam translating the potential of ICTs into activities that bring about real economic growth guna mengurangi kesenjangan digital di antara daerah perkotaan dan pedesaan. Dalam upaya mengejawantahkan komitmen tersebut, maka pemerintah menjadualkan pihak swasta untuk melaksanakan program pembangunan telekomunikasi/kios internet dalam rangka mengimplementasikan konsep Community Telecenter. Sektor swasta juga dijadualkan pemerintah untuk memperluas daerah akses elektronik sehingga dapat menyediakan informasi dasar berkaitan dengan kegiatan sosial dan ekonomi setempat untuk mempromosikan daya saing dari daerah tersebut (misalnya Desa Maju). Aplikasi rencana aksi ini sendiri dijadualkan sejak tahun 2001-2005, dan oleh pemerintah dijadikan sebagai program A (prioritas).

Kuatnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk membawa yang diimbangi dengan upaya pembangunan infrastruktur yang memadai tadi, karenanya tentu dapat jadi pengurang bagi lebarnya kesenjangan digital (digital devide) dalam masyarakat Indonesia. Suatu gambaran ideal yang tentunya di sisi lain dapat dijadikan sebagai indikasi kalau masyarakat desa semakin siap untuk menjadi warga masyarakat informasi dunia. Namun demikian, asumsi ini tampaknya berindikasi kurang relevan bila dikaitkan dengan data ITU (International Telecommunication Union) tentang Digital Access Index 2002 . Sebagaimana diperlihatkan data tersebut, tingkat ICT Literacy penduduk Indonesia berada di urutan k-51 dalam kategori medium access dan urutan ke-116 dari total 178 negara yang masuk dalam index ITU.

Data ITU tersebut hampir sama dengan data resmi World Internet User Statistics yang di perbarui 10 Maret 2007 mengenai jumlah pengguna internet di Indonesia. Dengan 18,000,000 pengguna dari populasi 224,481,720 jiwa, Indonesia diketahui menempati urutan ke-15 dunia dengan penetrasi internet sebesar 8 % (1,6 % dari total pengguna internet dunia). Dengan acuan deskripsi data akses digital menurut ITU dan internet users menurut World Internet User Statistics, kiranya dapat ditafsirkan bahwa kesiapan masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan Indonesia yang sebelumnya diasumsikan relatif membaik karena sejalan dengan kuatnya komitment pemerintah, dalam realitas, ternyata berdasarkan fenomenanya menunjukkan masih jauh dari harapan.

Pemerintah sendiri melalui Departemen Komunikasi dan Informatika, melalui Renstra-nya tahun 2004-2009 di bidang Aplikasi telematika : antara lain telah menetapkan, agar ”Meningkatnya aksesibilitas teknologi informasi dan e-literacy dan Meningkatnya pemanfataan teknologi informasi untuk semua sektor” , dapat diwujudkan. Membandingkan komitmen sebelumnya serta target capaian renstra dimaksud dengan fenomena minimnya digital access dan internet users masyarakat Indonesia sebelumnya, dengan mana mengindikasikan fenomena irrelevansi antara das solen dan das sein, tentu ini dapat menjadi factor yang bisa melemahkan upaya perwujudan ciri masyarakat informasi di lingkungan masyarakat pedesaan khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dikatakan menjadi pelemah karena keminiman digital access dan internet users tadi berdasarkan pendapat para ahli menjadi salah satu penanda bahwa persoalan ICT enabling dan ICT Literacy di lingkungan masyarakat memang masih relatif belum teratasi.

ICT enabling, ICT Literacy dan Perwujudan masyarakat informasi Fenomena kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (baca : TIK atau ICT) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dari beberapa literatur diketahuai telah banyak berperan dalam meningkatkan kualitas peradaban umat manusia, terutama dalam hubungannya dengan aktifitas kehidupan di bidang komunikasi dan informasi. Telepon, gramofon, film, video, radio dan televisi, kiranya menjadi contoh wujud produk ICT yang dulu begitu besar perannya dalam keseharian kehidupan masyarakat. Namun, wujud produk ICT tersebut menjadi kuno atau old ICT ketika perkembangan Iptek yang pesat dan canggih berhasil mewujudkan produk ICT modern yang mampu melakukan revolusi digital melalui medium internet , sebuah teknologi yang dirintis pertama kali oleh kalangan militer Amerika Serikat pada tahun 60-an.

Dengan kemampuan teknologi ini dalam hal fasilitasi aktifitas komunikasi dan informasi, dengan mana sangat jauh berbeda dengan kemampuan yang dimiliki oleh medium konvensional yang ada sebelumnya, menjadikannya sebagai masalah menarik oleh banyak kalangan. Dari kalangan akademisi misalnya, maka dengan berangkat dari fenomena kehidupan masyarakat di Amerika Serikat dalam kaitan ICT , Bell melalui bukunya The Coming of Post industrial Society (1973), menyebut masyarakat yang demikian dengan masyarakat pasca industri. Kemunculan masyarakat yang demikian kata Bell akan mencakup terjadinya suatu transformasi besar dalam dasar masyarakat. Masyarakat ini berbeda dengan masyarakat industri yang bertumpu pada harta benda,di mana lebih menekankan pengetahun, khususnya pengetahuan teoritis. Sebagai tambahan pada dan dalam hubungan dengan perubahan itu, masyarakat pasca industri memberi suatu penekanan baru kepada waktu luang. Orang memperoleh bentuk-bentuk pendidikan yang maju bukan saja untuk kegunaan sosial yang penting, tapi juga untuk peningkatan kesenangan dan intelektual.

Menurut Sanderson, pasca publikasi opini Bell melalui bukunya tadi, ungkapan masyarakat pasca industri jadi sering dimunculkan dan diterima dalam sejumlah buku teks sosiologi dan karya-karya lainnya. Sejalan dengan terus berkembanganya ICT, seiring itu pula peristilahan terhadap masyarakat pasca industri yang disebut Bell tadi terus mengalami perubahan dan penambahan jumlah konsep. Diantaranya ada yang mengkonseptualisirnya menjadi post-modern society , knowledge society, Telematic Society, Information Revolution, informational capitalism, transnational network capitalism, knowledge industry dan network society. Namun, sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada bagian awal, ini semua dimaksudkan untuk menunjukkan fenomena kemasyarakatan dalam kaitan ICT sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian konsep information society menurut WSIS.

Dalam perkembangannya, konsep ICT yang sebelumnya hanya dikenal akrab di kalangan negara-negara Utara yang memang telah mendahului fase-fase awal pertumbuhan dan perkembangan ICT, karena kemampuannya dalam melakukan digital revolution, menyebabkannya jadi dipandang sebagai enabler utama dalam upaya mencerdaskan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan dan mengurangi keterisolasian antar sesama masyarakat dunia . . Ini terutama ketika kepentingan ICT enabling tadi dikaitkan dengan konsep information society, yang oleh 178 negara dalam pertemuan WSIS di Jenewa dan Tunis memang disepakati untuk segera diwujudkan dengan cara mengkoneksiasi 50 % masyarakat dunia pada 2015 dan 100 % pada 2025.

Mengenai kepentingan ICT enabling dalam proses mewujudkan information society sendiri, berdasarkan literatur diketahui telah banyak mendapat pengakuan berbagai kalangan yang memandang positif terhadap ICT. Menurut McNamara , ICT dapat berperan sebagai hal yang menentukan dalam menopang pembangunan individu, masyarakat dan bangsa. Sementara menurut WSIS (2003) ICT dinilai sangat penting dalam pengembangan agenda karena ICTs diantaranaya dapat digunakan dalam admisitrasi public, bisnis, pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Lebih khusus lagi, diantaranya ICT juga disebutkan dapat berperan dalam membantu pengurangan kemiskinan (Duncombe 2001) , dan memperluas peluang pembangunan ekonomi (Prosser 1997, World Bank 1998 ). Dengan pemanfaatan ICT, menurut Ellis (2000, p.31) , “akses terhadap informasi memberikan kesempatan bagi seseorang “untuk menjalankan usaha/produksi, menggunakan bursa tenaga kerja, dan terlibat dalam pertukaran timbal-balik dengan orang lain. Sebuah studi terbaru menemukan bahwa adanya suatu hubungan di antara akses terhadap telepon selular dengan pertumbuhan ekonomi, dengan mana dampaknya lebih signifikan pada negara berkembang dibandingkan dengan negara terkebelakang.

Meskipun begitu, sehubungan pengalaman masyarakat di negara-negara Utara dan Selatan di bidang fase perkembangan ICT memiliki perbedaan besar, peran ICT sebagai enabler tadi justru kerap menjadi persoalan yang mendapat perhatian besar ketika semua negara tanpa dikotomi Utara-Selatan, dipersamakan dalam upaya mewujudkan target information society yang nota bene diyakini pula oleh semua negara yang tergabung dalam WSIS sebagai terwujud karena ICT sebagai enabler utama. Persoalan-persoalan seperti digital divide, yakni suatu ‘situasi yang ditandai oleh adanya jurang dalam mengakses atau menggunakan peralatan ICT’ , karenanya menjadi persoalan serius bagi kebanyakan negara-negara developing dan developed countries. Digital devide ini sendiri, selain diidentifikasi muncul karena adanya keterbatasan fisik ICT device yang menyebabkan tidak ter-networking-nya masyarakat, juga disinyalir karena berkaitan dengan factor human resources berupa ICT illiterate .

Menyimak factor ICT literacy mengindikasikan sebagai enabler lain yang menentukan dalam memaksimalkan peran ICT dalam membawa masyarakat menuju masyarakat informasi, maka mempelajari ICT Literacy masyarakat pedesaan Indonesia yang disinyalir lebih lebar the gap of digital divide-nya dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, karenanya menjadi penting untuk dilakukan, terutama itu jika dikaitkan dengan upaya memahami masalah bridging the rural– urban devide, misalnya.

Problema digital devide di lingkungan Pedesaan dan Perwujudan masyarakat informasi
Upaya menjadikan masyarakat pedesaan untuk menjadikannya sebagai bagian dari Masyarakat Informasi global telah menjadi problema bagi banyak negara di dunia, terutama pada negara-negara Selatan seperti Indonesia, yang bersama negara-negara peserta WSIS lainnya, memang telah sepakat untuk segera mengatasi problem dimaksud, yakni cenderung menyangkut persoalan digital devide.

Persoalan digital devide memiliki dimensinya sendiri pada setiap negara. Pada negara-negara Eropa, kesenjangan itu antara lain berupa : 1) rintangan-tintangan sosial penduduk pedesaan terhadap informasi, fasilitas pendidikan, kesehatan dan layanan-layanan sosial, dan lain-lain ; 2) hambatan-hambatan informasi – dalam situasi terakhir di banyak daerah pedesaan dan fasilitas-fasilitas yang mereka miliki tidak memungkinkan mereka bagi "dunia luar–wilayah-wilayah lainnya, pusat kota atau provinsi lain – wisata pedesaan, produk local, dll.”.

Pada negara Selatan seperti Nigeria, kesenjangan digital ini jumlahnya mencapai 14 dimensi, diantaranya menyangkut soal ketersediaan layanan fasilitas ICT, peluang untuk belajar dan menggunakan media baru, budaya, kesadaran, sikap, dan ketidakmampuan . Menyangkut Indonesia sendiri, menurut data resmi World International User statistics hingga 10 Maret 2007, jumlah penetrasi internetnya baru mencapai 8 % dari total populasi bangsa Indonesia. Dengan kata lain, baru 1,6 % dari populasi pengguna internet dunia. . Dari jumlah ini, sejalan dengan teledensity di desa Indonesia lebih tinggi (0,2 %) dari pada di kota (11-25 %) , maka ini menjadi indikasi kalau pengguna internet di desa itu jauh lebih sedikit jumlahnya dari pada di kota.

Selain faktor ketersediaan infra struktur, ada beberapa indikasi lain yang menyebabkan tingginya tingkat digital devide masyarakat di pedesaan Indonesia. Beberapa diantaranya, berkaitan dengan "kemampuan ekonomi masyarakat yang belum pulih, tapi tarif broadband internet kita 45 kali lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara lain”. Termasuk pula menyangkut soal minimnya SDM, bahkan, pegawai pemerintah yang tahu internet masih sedikit jumlahnya. Menurut Indonesia Internet Research Center (IIRC), hal yang nota bene berkaitan dengan soal literasi ICT masyarakat ini, ada kaitannya dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, taraf hidup ekonomi dan variabel sosial lainnya yang hubungannya sangat erat dengan preferensi pilihan mereka terhadap salah satu produk teknologi seperti internet. .

Melihat kondisi masyarakat pedesaan yang mengacu pada sejumlah indikator yang memposisikan mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang relatif tinggi tingkat digital devide-nya, maka internet sebagai salah bentuk produk ICT modern, tampaknya masih benar-benar menjadi sesuatu yang inovatif bagi mereka. Namun, terkait dengan tingginya tingkat digital devide tadi, itu menandakan kalau masyarakat pedesaan masih belum banyak yang mengadopsi internet sebagai sesuatu yang inovatif. Sebagai inovasi yang masih belum banyak diadopsi, kiranya ini dapat diasumsikan kalau ini akan berkaitan dengan kadar ICT literacy masyarakat pedesaan, yang nota bene mungkin akan banyak yang masih rendah.

Dalam kaitan upaya mewujudkan masyarakat pedesaan menjadi bagian dari Masyarakat Informasi global, dengan fenomena ICT literacy tadi, tentunya itu menjadi kurang ideal. Kondisi ini cenderung memposisikan mereka menjadi pihak-pihak yang kurang kemungkinannya untuk dapat beraktifitas sebagai individu masyarakat informasi, yakni masyarakat yang mengutamakan internet sebagai médium komunikasi dan informasi.

PENUTUP
Sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya pada awal makalah, tulisan ini mencoba menelaah fenomena upaya perwujudan masyarakat informasi di lingkungan pedesaan, khususnya di lingkungan pedesaan Indonesia. Pembahasannya difokuskan pada beberapa hal, yaitu: menyangkut pengertian konsep Masyarakat Informasi; komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan Masyarakat Informasi; komitmen perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia; masalah ICT enabling,ICT Literacy dalam hubungan perwujudan masyarakat informasi; dan menyangkut problema digital devide di lingkungan Pedesaan.

Dari hasil pembahasan menunjukkan bahwa : (1) pengertian masyarakat informasi itu sangat variatif, namun yang relatif akomodatif bagi semua pihak adalah seperti yang dikemukakan World Summit on the Information Society (WSIS), bahwa masyarakat informasi sebagai suatu keadaan di mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi serta pengetahuan yang memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat untuk mencapai potensi mereka dalam rangka mengembangkan pembangunan yang terus terpelihara dan mengembangkan kualitas hidup mereka, sebagaimana yang telah dideklarasikan di dalam tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam PBB, dan, menghormati secara penuh serta menguatkan deklarasi Universal Hak Asasi manusia. Ciri akomodatif tadi ditandai oleh kata-kata “dapat”, “mencapai potensi” dan “mengembangkan” dalam kaitan informasi dan pengetahuan pada Masyarakat Informasi. Meskipun definisi ini tidak mematok tegas target capaian ideal masyarakat informasi, sebagaimana digambarkan dalam banyak definisi lain, misalnya seperti masyarakat yang bekerja di bidang informasi atau pengetahuan, melainkan disesuaikan menurut potensi setiap pihak, akan tetapi melalui kata “dapat” definisi tersebut tetap saja menyiratkan bahwa ICT menjadi pre kondisi yang harus dipenuhi oleh setiap pihak yang mau membuat masyarakatnya menjadi bagian dari masyarakat informasi.;(2) Komitmen masyarakat dunia terhadap perwujudan Masyarakat Informasi tertuang dalam dua pertemuan WSIS. Dalam WSIS 2003, para pemimpin dunia yang hadir saat itu mendeklarasikan tekad bersamanya untuk mengurangi kesenjangan digital. Tekad ini lalu dituangkan ke dalam “deklarasi prinsip-prinsip pembangunan masyarakat informasi : tantangan dunia dalam millennium baru”. Tekad itu kemudian ditinlanjuti dan disikapi lebih mendalam pada pertemuan kedua WSIS di Tunis 2005. Sikap dimaksud tertuang dalam dokumen komitmen Tunis. Terdapat 40 komitment dalam dokument tersebut, salah satunya berkaitan dengan tekad untuk mengimplementasikan apa yang telah dideklarasikan dalam pertemuan WSIS di Jenewa Swis 2003, komitmennya yaitu : “Kami, wakil dari masyarakat di dunia, telah berkumpul di Tunis dari tanggal 16-18 November 2005 pada forum kedua dari World Summit on the Information Society (WSIS) untuk menyatakan kembali secara tegas mendukung Deklarasi Jenewa tentang Prinsip dan Rencana Kerja yang diambil dari forum pertama World Summit on the Information Society (WSIS) di Geneva pada bulan Desember 2003”.; (3) Komitmen Perwujudan Masyarakat Informasi di lingkungan Masyarakat Pedesaan Indonesia mengacu pada kesepakatan dalam pertemuan WSIS di Tunis 2005, yakni berdasarkan agenda yang diletakkan dalam urutan ke 23.b. yang berbunyi ,“Akses komunikasi dan konektivitas terhadap layanan dan aplikasi berbasis ICT pada wilayah pedesaan, pulau-pulau kecil negara berkembang, ........”. Komitmen ini merupakan penegasan sikap atau tekad untuk pembangunan desa yang sebelumnya telah dinyatakan dalam Plan of Action pada pertemuan WSIS 2003 di Geneva. Dalam upaya mengejawantahkan komitmen tersebut, maka pemerintah menjadualkan pihak swasta untuk melaksanakan program pembangunan telekomunikasi/kios internet dalam rangka mengimplementasikan konsep Community Telecenter. Sektor swasta juga dijadualkan pemerintah untuk memperluas daerah akses elektronik sehingga dapat menyediakan informasi dasar berkaitan dengan kegiatan sosial dan ekonomi setempat untuk mempromosikan daya saing dari daerah tersebut (misalnya Desa Maju). Aplikasi rencana aksi ini sendiri dijadualkan sejak tahun 2001-2005, dan oleh pemerintah dijadikan sebagai program A (prioritas); (4) Dalam kaitan upaya perwujudan masyarakat informasi maka sebanyak 178 negara dalam pertemuan WSIS di Jenewa dan Tunis sepakat bahwa faktor ICT enabling itu menjadi enabler utama yang harus diwujudkan guna terkoneksasinya 50 % masyarakat dunia pada 2015 dan 100 % pada 2025. Enabler lain yang juga menjadi faktor pendukung bagi terwujudnya masyarakat informasi yaitu faktor yang terkait dengan factor human resources, yaitu faktor ICT Literacy.; dan (5) Pada negara-negara Selatan seperti Indonesia, yang bersama negara-negara peserta WSIS lainnya sepakat bahwa persoalan digital devide itu menjadi penggangu (problem) bagi upaya perwujudan masyarakat informasi terutama di pedesaan, dan karenanya harus diatasi. Persoalan digital devide di pedesaan Indonesia, selain menyangkut faktor ketersediaan infra struktur (enabling), juga berhubungan dengan "kemampuan ekonomi masyarakat yang belum pulih, minimnya kualitas SDM yang berkaitan dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, taraf hidup ekonomi dan variabel sosial lainnya yang hubungannya sangat erat dengan preferensi pilihan mereka terhadap salah satu produk teknologi seperti internet.

Berdasarkan kesimpulan sebelumnya, dalam hal ini terutama menyangkut persoalan digital devide di pedesaan Indonesia yang muncul dari faktor minimnya kualitas SDM, maka guna menemukan data akurat untuk kepentingan pengembangan kualitas SDM tadi, secara akademik diperlukan upaya penelaahan akademik yang lebih jauh, misalnya melalui riset kesadaran masyarakat pedesaan akan inovasi baru di bidang ICT. Dengan topik penelitian yang demikian, maka dimaksudkan bisa menjadi sebagai salah satu upaya dalam memetakan tingkat literasi ICT masyarakat pedesaan dan hubungannya dengan karakteristik anggota masyarakat. Melalui maksud tersebut, maka penelitian sejenis ini dapat ditujukan : 1) untuk mengukur tingkat literasi ICT masyarakat pedesaan; dan 2) untuk menjelaskan hubungan variabel literasi ICT dengan variabel karakteristik anggota masyarakat pedesaan. Perwujudan dua tujuan dimaksud, selanjutya secara praktis diharapkan dapat menjadi masukan, terutama bagi Depkominfo dalam perumusan kebijakan di bidang pembangunan ICT Litercy dalam rangka proses bridging the rural– urban devide. Sementara dari segi akademis, hasil penelitian sejenis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan teori difusi inovasi, khususnya menjelaskan penyebarluasan inovasi ICT dalam masyarakat pedesaan.

Daftar Pustaka
Albirini, Abdulkafi, 2006, “Cultural perceptions: The missing element in the implementation of ICT in developing countries“, International journal of education and development using ICT ; Vol 2(1) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=146&layout=html.
Alampay, Erwin A., “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, International journal of education and development using ICT;Vol.2(3)2006,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id-=196&-layout =html.
@rural Conference Brussels, 200-, 15/09/2003, dalam
http://ec.europa.eu/infor-mation society/activities/atwork/erural_at_ work/-documents/at_rural_conf-_concls.pdf; taken on April 16, 2007.
Bill Martin, “The Information Society and the Digital Divide: Some North-South comparisons” , International journal of education and development using ICT ; Vol 1(4) 2005. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in : http://-ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=128&layout=html.
Braa, Jørn, et. al,” A Study of the Actual and Potential Usage of Information and Communication Technology at District and Provincial Levels in Mozambiqu”, dalam International journal of education and development using ICT,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php.
Campbell, D. (2001) "Can the digital divide be contained?", dalam Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in :
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle .php?id=196&layout=html :
Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2006, Rencana Strategis Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2004-2009., Jakarta Depkominfo.
E.L.Adebayo danO.M.Adesope,2007, “Awareness, access and usage of information and communicationtechnologies between female researchers and extensionists", dalam ,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=282&layout=html.
Elijah, Obayelu A. dan Ogunlade, I., 2006, “Analysis of the uses of information and communication technology for gender empowerment and sustainable poverty alleviation in Nigeria”, dalam International Journal of Education and Development Using ICT; Vol 2(3) 2006, dalam,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=172&layout =html.
(Gay and Blades, 2005)—( Gay, G. and Blades, R. (2005), Information Technology for CXC CSEC, Oxford University Press, Oxford, UK).
Glenda Gay, et.al., 2006, “Perceptions of information and communication technology among undergraduate management students in Barbados”, dalam International journal of education and development using ICT, Vol 2(4) 2006,
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=223&layout=html.
Gomez & Hunt 1999, Telecentre Evaluation. A Global Perspective, International Development Research Centre., http://www/idrc.ca/telecentre/ evalutation/-nn/00Cov.htm .
Gyanendra Narayan and Amrutaunshu N. Nerurkar, 2006 , ” Value-proposition of e-governance services: Bridging rural-urban digital divide in developing countries” dalam , International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran;
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=189&layout=html
Khor, Martin, 2001, Globalisasi, Perangkap Negara-Negara Selatan, terjemahan AB Widyanta dan Scholastica Siane dari judul asli “Globalization and the South : Some Critikal Issues”, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Koanantakool, Thaweesak, “Understanding Changes in The Information Society, Working Towards The Internationally Harmonized Views”, dalam, htk@nectec.or.th. http//www.nectec or. Th/uses/htk/.
Leksono, Ninok, 2007, “Tantangan Penelitian Komunikasi dan Informatika”, makalah, disajikan 15 Pebruari 2007).
Machlup,dalam,http://en.wikipedia.org/wiki/Information_society#Development_of_the_in-formation_ society_model.
Mäkinen, Heikki, 2006, “Knowledge Society or Information Society ?”, dalam : www.yhtelskunnantleto.fl
Mc Luhan, Marshal, ”Technology Determinism”, In A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, by EM Griffin, New York, McGraw Hill, 2003.
McNamara, K.S. (2000). “Why be Wired? The Importance of Access to Information and Communication Technologies”, TechKnowLogia, March/April 2000. Knowledge Enterprise, Inc., dalam, Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in : http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id= 196&layout=html :
Narayan, Gyanendra and Nerurkar , Amrutaunshu N. , 2006 , ” Value-proposition of e-governance services: Bridging rural-urban digital divide in developing countries” dalam , International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran;
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=189&layout=html.
Sambuu, Uyanga, 2005, “The usage of ICT for secondary education in Mongolia”, dalam International Journal of Education and Development Using ICT ; Vol 1(4) 2005, dalam
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=140&layout =html
Sanderson, Stephen K., 1991, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, edisi kedua, terjemahan, Farid Wajidi dan S. Meno, cetakan ketiga, 2000, Jakarta, RajaGrafindo Persada, PT., hal. 606.
Setiyadi, Maswigrantoro Roes, 2005, “Kebutuhan Teknologi Informasi dan Komunikasi Masyarakat Indonesia di Masa depan”, dalam, Konvergensi, edisi Desember 2005, hlm. 8, Jakarta, Departemen Komunikasi dan Informatika. UNESCO,
http://portal.unesco.org/ci/en/ev.php
Webster, Frank, 1995, The Theories of The Information Society, London and New York, Routledge.
WSIS, 2003, WSIS-03/GENEVA/DOC/5-E-12, December 2003, dalam : http://www.itu.int/wsis/docs/geneva/official/poa.html.
WSIS, 2005, Dokumen WSIS-05/TUNIS/DOC/6(Rev. 1)-E, 18 November 2005, dalam, http://www.itu.int/wsis/docs2/tunis/off/6rev1.html.
WSIS 2003, dalam Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabi-lities in the information society”, dalam , International Journal of Education and Development Using ICT; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in :
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle. php?id =196 &layout=html :
Sumber lain :
http://www.itu .int/home/feedback/index.phtml?mail=indicators.
hhtp://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Information_Society&printable
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html
http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesia# Struc-ture_and_affiliations
http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=172&layout=html. http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan 002101.,
diambil 27 April 2007.
http://www.itu.int/newsarchive/press_releases/2003/30.html, TAKEN ON 28 April 07.
http://www.internetworldstats.com/top20.htm, taken on Apr 30,2007.

0 komentar:

Posting Komentar

Site search

    Blogger news

    Blogroll

    About